Sabtu, 19 April 2008

Emotional Benefit dalam Marketing

Kembali membahas tentang Gelombang Ketiganya Alvin Toffler yang membagi era dunia menjadi tiga gelombang. Era pertanian yang membutuhkan modal Muscle. Revolusi industri dengan penemuan mesin uap oleh James Watt yang membutuhkan Machine untuk memenangkan persaingan. Dan penemuan komputer membuat kita mudah membuat informasi dan database. Ini membuat muscle dan machine saja tidak cukup untuk meraih sukses, dibutuhkan Mind.

Di masa ilmu pengetahuan dan informasi sudah tidak bisa dibatasi hambatan geografis, budaya dan hukum, persaingan menjadi semakin ketat. Kekuatan pikiran saja tidak cukup. Dunia bukannya semakin rasional, tapi malah makin emosional. Keunggulan tidak lagi terletak pada Mind, eMotion yang jelas sangat terkait dengan Feeling.

Dalam melakukan pembelian produk atau jasa, pelanggan tidak lagi sekedar mempertimbangkan bagaimana dengan produk itu sendiri, melainkan value yang bisa mereka dapatkan dari produk itu. Value itu sendiri adalah manfaat fungsional dan emosional yang didapat pelanggan dibagi dengan harga dan biaya-biaya lain yang harus dikeluarkannya.

Banyaknya informasi membuat pelanggan semakin bingung membandingkan informasi produk yang satu dan yang lainnya. Jika hanya melihat fungsi dan harga, pasti itu soal mudah untuk membuat keputusan. Tapi itu sangat berat karena setiap perusahaan apalagi yang sudah besar akan bersaing untuk membuat produk yang sangat fungsional dengan harga ditekan serendah mungkin.

Keunggulan teknologi atau fungsional sangat mudah ditiru oleh pesaing. Fungsional benefit akan sulit dipertahankan dan dijadikan point of differention karena sudah umum dan memberikan functional benefit sudah menjadi kewajiban di tiap perusahaan. Agar konsumen tak mudah berpaling kepada si penyontek yang kadang lebih bagus kualitasnya, Emotional Benefit adalah kuncinya. Emotional Benefit tidak mudah ditiru mengingat pengalaman emosional sulit dilupakan pelanggan.

Inti dari pemberian emotional benefit adalah membuat pelanggan feel good agar segalanya menjadi mudah. Apalagi windows shopping sudah membudaya seperti sekarang ini. Dimana pelanggan tak pernah berniat untuk membeli sesuatu sebelumnya. Hanya ingin jalan-jalan dan melihat-lihat barang yang dipajang. Saat mereka memutuskan untuk membeli barang, itu lebih didorong oleh mood spontan daripada daripada memikirkan butuh atau tidaknya barang tersebut secara rasional.

Peluang sekaligus tantangan buat pemasar untuk membuat pelanggan menjadi good mood saat melihat pajangan kita. Tidak mungkin kan pelanggan akan tertarik bila kondisinya sedang bad mood ..?

Ada inspirasi..?

Tidak ada komentar: